Senin, 16 Juni 2014

PROFESSOR UGM Terlibat KORUPSI Tanah

Kasus korupsi penjualan tanah milik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, memasuki babak baru. Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) DI Yogyakarta akhirnya menetapkan empat tersangka dari internal UGM, bahkan salah satunya bergelar guru besar di kampus Bulaksumur tersebut. 
Namun Kejati masih merahasiakan identitas para tersangka. "Nama-namanya belum bisa saya sebutkan, tetapi sudah ditetapkan sebagai tersangka," ujar Kepala Seksi (Kasie) Penerangan Hukum Kejati DIY, Purwanta Sudarmaji, Senin (16/6).
Menurut Purwanta, penetapan tersangka itu telah dilakukan sejak pekan lalu. Malah surat perintah penyidikan (sprindik) dikeluarkan sejak 27 Maret lalu. 
Para tersangka dijerat Undang-undang Tindak Pidana Korupsi no 31/1999  pasal 2 ayat 1 subsidair pasal 3 yang diubah dan ditambah Undang-Undang No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara pengacara Yayasan Fakultas Pertanian UGM (Fapertagama), Heru Lestariyanto, mengaku belum mendapat informasi resmi soal penetapan tersangka. "Kami belum menerima pemberitahuan, kami belum tahu kalau sudah ada tersangkanya," katanya. 
Meski begitu dia akan menghormati jalannya hukum dan siap mendampingi kliennya.
Sebelumnya, Kejati DIY telah menyita uang sebanyak Rp 2 miliar dari beberapa bank di Yogyakarta beberapa hari lalu. Uang sebesar itu merupakan milik Yayasan Fapertagama. Penyitaan uang dilakukan setelah Kejati mengendus adanya indikasi korupsi dalam penjualan aset milik UGM oleh yayasan tersebut.
Peyidik juga memanggil dan memeriksa 20 orang sebagai saksi terkait kasus itu. Mereka yang sudah diperiksa adalah Pemerintah Desa Banguntapan, Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Bantul, pengurus Yayasan Fapertagama, pejabat bagian aset UGM, dan beberapa pejabat lainnya.
Kasus indikasi korupsi penjualan aset UGM ini mulai diselidiki Kejati DIY sejak tiga bulan terakhir. Tanah milik UGM seluas 4.000 meter persegi di Dusun Plumbon, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, dijual oleh pihak yayasan ke pengembang. Dari penyelidikan terungkap, tanah itu dijual ke pengembang secara berkala mulai 2003 hingga 2007.
Nilai penjualan itu sebesar Rp 1,2 miliar. Nominal ini sesuai laporan yang disampaikan ke kantor pajak. Padahal dalam kuitansi pembayaran disebutkan nilai jualnya lebih dari Rp 2 miliar. 
Dari informasi yang dihimpun, lahan itu awalnya dibeli oleh panitia pembangunan gedung UGM pada 1963 dengan harga Rp 1,5 juta. Selanjutnya pada 2000, aset itu dikuasai oleh yayasan yang pengurus dan anggotanya terdiri atas para dosen Fakultas Pertanian UGM.
Sebagian uang hasil penjualan tanah telah digunakan untuk membeli lahan di Desa Wukirsari, Cangkringan, dan dibagi-bagi antarpengurus yayasan. Selain menyita uang tunai,  penyidik juga menyita barang bukti berupa dokumen penjualan tanah dari yayasan, dokumen status kepemilikan tanah dari UGM, dan kelurahan.
Demi keamanan dan kelancaran penyidikan, tim penyidik menitipkan uang tunai Rp 2 miliar tersebut kepada bank milik pemerintah di Yogyakarta. Karena statusnya titip maka manajemen bank dilarang menggunakan dan memanfaatkan uang tunai Rp 2 miliar itu untuk kegiatan perbankan.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/06/16/n79gjk-seorang-guru-besar-jadi-tersangka-korupsi-tanah-ugm

Tidak ada komentar: