Kasus korupsi penjualan tanah milik Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, memasuki babak baru. Tim penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati)
DI Yogyakarta akhirnya menetapkan empat tersangka dari internal UGM,
bahkan salah satunya bergelar guru besar di kampus Bulaksumur tersebut.
Namun Kejati masih merahasiakan identitas para tersangka.
"Nama-namanya belum bisa saya sebutkan, tetapi sudah ditetapkan sebagai
tersangka," ujar Kepala Seksi (Kasie) Penerangan Hukum Kejati DIY,
Purwanta Sudarmaji, Senin (16/6).
Menurut Purwanta, penetapan tersangka itu telah dilakukan sejak
pekan lalu. Malah surat perintah penyidikan (sprindik) dikeluarkan sejak
27 Maret lalu.
Para tersangka dijerat Undang-undang Tindak Pidana Korupsi no 31/1999
pasal 2 ayat 1 subsidair pasal 3 yang diubah dan ditambah
Undang-Undang No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara pengacara Yayasan Fakultas Pertanian UGM (Fapertagama),
Heru Lestariyanto, mengaku belum mendapat informasi resmi soal penetapan
tersangka. "Kami belum menerima pemberitahuan, kami belum tahu kalau
sudah ada tersangkanya," katanya.
Meski begitu dia akan menghormati jalannya hukum dan siap mendampingi kliennya.
Sebelumnya, Kejati DIY telah menyita uang sebanyak Rp 2 miliar dari
beberapa bank di Yogyakarta beberapa hari lalu. Uang sebesar itu
merupakan milik Yayasan Fapertagama. Penyitaan uang dilakukan setelah
Kejati mengendus adanya indikasi korupsi dalam penjualan aset milik UGM
oleh yayasan tersebut.
Peyidik juga memanggil dan memeriksa 20 orang sebagai saksi terkait
kasus itu. Mereka yang sudah diperiksa adalah Pemerintah Desa
Banguntapan, Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Bantul, pengurus
Yayasan Fapertagama, pejabat bagian aset UGM, dan beberapa pejabat
lainnya.
Kasus indikasi korupsi penjualan aset UGM ini mulai diselidiki Kejati
DIY sejak tiga bulan terakhir. Tanah milik UGM seluas 4.000 meter
persegi di Dusun Plumbon, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan,
Kabupaten Bantul, dijual oleh pihak yayasan ke pengembang. Dari
penyelidikan terungkap, tanah itu dijual ke pengembang secara berkala
mulai 2003 hingga 2007.
Nilai penjualan itu sebesar Rp 1,2 miliar. Nominal ini sesuai laporan
yang disampaikan ke kantor pajak. Padahal dalam kuitansi pembayaran
disebutkan nilai jualnya lebih dari Rp 2 miliar.
Dari informasi yang dihimpun, lahan itu awalnya dibeli oleh panitia
pembangunan gedung UGM pada 1963 dengan harga Rp 1,5 juta. Selanjutnya
pada 2000, aset itu dikuasai oleh yayasan yang pengurus dan anggotanya
terdiri atas para dosen Fakultas Pertanian UGM.
Sebagian uang hasil penjualan tanah telah digunakan untuk membeli
lahan di Desa Wukirsari, Cangkringan, dan dibagi-bagi antarpengurus
yayasan. Selain menyita uang tunai, penyidik juga menyita barang bukti
berupa dokumen penjualan tanah dari yayasan, dokumen status kepemilikan
tanah dari UGM, dan kelurahan.
Demi keamanan dan kelancaran penyidikan, tim penyidik menitipkan uang
tunai Rp 2 miliar tersebut kepada bank milik pemerintah di Yogyakarta.
Karena statusnya titip maka manajemen bank dilarang menggunakan dan
memanfaatkan uang tunai Rp 2 miliar itu untuk kegiatan perbankan.
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/06/16/n79gjk-seorang-guru-besar-jadi-tersangka-korupsi-tanah-ugm
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/06/16/n79gjk-seorang-guru-besar-jadi-tersangka-korupsi-tanah-ugm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar